Jumat, 14 Juni 2013

Imperium Melayu Riau

Imperium Melayu Riau adalah penyambung warisan Sriwijaya. Kedatangan Sriwijaya yang mula-mula sejak tahun 517 s/d 683 dibawah kekuasaan Melayu, dengan meliputi daerah Sumatera tengah dan selatan. Sriwijaya-Sailendra bermula dari penghabisan abad ke 7 dan berakhir pada penghujung abad ke 12. Kemaharajaan Melayu yang dimulai dari - Kerajaan Bintan-Tumasik abad 12-13 M dan kemudian memasuki periode Melayu Riau yaitu - zaman Melaka abad 14-15 m, - zaman Johor-Kampar abad 16-17 m, - zaman Riau-Lingga abad 18-19M

Paramesywara atau Iskandar Syah dikenal dengan gelar Sri Tri Buana, Maharaja Tiga Dunia (Bhuwana, Kw, Skt berarti dunia), seorang pangeran, keturunan raja besar. Ia sangat berpandangan luas, cerdik cendikia, mempunyai gagasan untuk menyatukan nusantara dan akhirnya beliaulah pula yang membukakan jalan bagi perkembangan islam di seluruh nusantara. 

Paramesywara adalah keturunan
raja-raja Sriwijaya-Saildendra. Menurut M.Said (dalam bukunya Zelfbestuur Landchappen) Raja Suran adalah keturunan Raja Sultan Iskandar Zulkarnain di Hindustan yang melawat ke Melaka, beranak tiga orang laki-laki. Diantara putranya adalah Sang Si Purba, kawin dengan Ratu Riau. Dari puteranya menjadi turunan Raja Riau. Sang Si Purba sendiri pergi ke Bukit Siguntang Mahameru (Palembang) menjadi Raja dan kawin disana. Ia melawat ke Minangkabau dan menjadi Raja Pagarruyung. Memencar keturunannya menjadi Raja-Raja Aceh dan Siak Sri Indrapura.

Menurut Sejarah Melayu tiga bersaudara dari Bukit Siguntang menjadi raja di Minangkabau, Tanjung Pura (Kalimantan Barat) dan yang ketiga memerintah di Palembang..Yang menjadi Raja di Palembang adalah Sang Nila Utama. Sang Nila Utama inilah yang menjadi Raja di Bintan dan Kemudian Singapura.

Dalam hikayat Hang Tuah yang terkenal, ada disebutkan, raja di “Keindraan” bernama Sang Pertala Dewa. Adapula tersebut seorang raja. Istri baginda hamil dan beranak seorang perempuan yang diberi nama Puteri Kemala Ratna Pelinggam. Setelah dewasa diasingkan ke sebuah pulau bernama : Biram Dewa.. Sang Pertala Dewa berburu di pulau Biram Dewa tersebut. Akhirnya kawin dengan Putri Kemala Ratna PeLinggam. Lalu lahir anaknya yang dinamai Sang Purba. Setelah itu mereka naik “keindraan”. Kemudian turun ke Bukit Siguntang Mahameru. Sang purba dirajakan di bukit siguntang. Sang Purba kawin dengan puteri yang berasal dari muntah seekor lembu yang berdiri ditepi kolam dimana sang puteri sedang mandi. Lahir seorang putra dinamai Sang Maniaka dan kemudian lahir pula putera yang kedua Sang Jaya Mantaka, yang ketiga Sang Saniaka dan yang keempat Sang Satiaka. Sang Maniaka dirajakan di Bintan dan singapura.

A. Zaman Bintan – Temasek Dalam catatan sejarah, Kerajaan Riau-Bintan dimulai dari Raja Asyar-Aya (1100-1150M ) Dan Ratu Wan Sri Beni (1150-1158M). Ratu kemudian digantikan oleh menantunya Sang Nila Utama, yang mendirikan Kerajaan Singapura dan memindahkan Kerajaan dari Bintan ke Singapura. Menurut para ahli sejarah, Sang Nila Utama dari Bintan menemukan Singapura pada tahun 1294 M. kemudian diberi gelar Tri Buana dan mengubah nama Temasek menjadi Singapura.

B. Zaman Melaka Raja-raja Melayu di Melaka berasal dari singapura (temasek) menurut sejarah Melayu karangan Tun Seri Lanang (1612 M), raja Melayu yang terakhir disingapura (Tumasik) adalah Raja Iskandar Syah yang membuka negeri Melaka

Dalam buku-buku sejarah karangan pelawat-pelawat cina nama raja Melayu Melaka yang pertama itu ialah Pa-Li-Su-La dan Pai-li-mi-sul-la, dari sumber Portugis yang menyebutkan Paramesywara dengan sebutan Paramicura dan Permicuri. Ahli sejarah mengambil kesimpulan bahwa raja Melayu Melaka (Raja Singapura yang terakhir) adalah Permaisura (sebelum memeluk agama islam) kemudian raja itu menjadi Raja Melaka dengan memakai gelar Permaisuri Iskandar Syah (1394-1414 M). 
Keturunan raja ini yang memerintah di Melaka ialah : - Megat iskandar syah (1414-1424 M) - Sultan Muhammad Syah (1424-1444 M) - Sultan Abu Syahid (1445-1446 M) - Sultan Muazaffar Syah (1446-1456 M) - Sultan Mansyur Syah (1456-1477 M) - Sultan Alauddin Riayat Syah (1477-1488 M) - Sultan Mahmud Syah I (1488-1511 M)

Selama abad 15 sampai permulaan abad ke 16 di antara Kerajaan-Kerajaan Melayu yang ada, hanya Kerajaan Melaka yang mencapai puncak kejayaan. Sebuah laporan portugis pada permulaan abad ke 16 telah menggambarkan Kerajaan Melaka. Pada masa itu dinyatakan bahwa kota Melaka adalah Bandar perdagangan yang terkaya dan mempunyai bahan-bahan perdagangan yang termahal, armada yang terbesar dan lalu lintas yang teramai di dunia. Melaka menjadi kota perdagangan yang terbesar didatangi pedagang-pedagang dari pulau-pulau nusantara dan dari benua asia lainyya seperti dari India, Arab, Parsi, Cina, Burma (Pegucampa, Kamboja dan lain-lain). Dalam tahun 1509 mulai pula berdatangan pedagang-pedagang dari eropa Melaka sebagai pusat imperium Melayu dan menjadi Bandar perdagangan yang ramai juga merupakan pusat penyebaran agama islam ke seluruh nusantara dan Asia Tenggara. 

Sultan Melaka Sultan Mansyur Syah Akbar yang memerintah pada tahun 1456-1477 M) telah berhasil mengantarkan Melaka ke puncak kebesaran sejarah Melayu dan beliau dapat mempersatukan Kerajaan-Kerajaan Melayu dalam imperium Melayu. 

Pada masa Sultan Mansyur inilah terkenalnya sembilan pemuda yang gagah berani sebagai hulubalang Kerajaan seperti : Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekiu, Hang Lekir, Hang ali, Hang Iskandar, Hang Hasan, dan Hang Hussin. Diantara kesembilannya Hang Tuahlah yang paling berani dan bijaksana sehingga Sultan mengangkatnya menjadi Laksmana. Pengganti Sultan Mansyur Syah ialah putranya Sultan Alauddin Riayat Syah (1477-1588 H). Raja ini diracuni oleh Raja Kampar dan Raja Indragiri yang ditawan di Melaka. Sewaktu beliau hendak berangkat ke Melaka. 

Sultan Alauddin berputrakan Raja Munawar Syah, Raja Kampar dan Raja Muhammad yang kemudian bergelar Sultan Mahmud Syah Raja Melaka. Sultan mahmud beristrikan putri sultan raja pahang. Yang menurunkan tiga orang anak. Yang tertua adalah laki-laki diberi nama Raja Ahmad, yang kedua dan ketiga adalah perempuan. Sultan mahmud berguru pada Maulana Yusuf, sultan munawar syah raja Kampar wafat digantikan oleh anaknya yang bernama Raja Abdullah yang di nobatkan oleh Sultan Mahmud di Melaka dan diambil menjadi menantunya. Setelah dinobatkan di Melaka beliau kembali ke Kampar.

Sebelum pusat Kerajaan imperium Melayu di pindahkan ke Johor, Sultan Mahmud Syah I telah mendirikan pusat pemerintahan di Kampar terletak ditepi Sungai Kampar. Tempat ini dijadikan sebagai pusat imperium Melayu dan basis perjuangan terakhir untuk melawan portugis.

Sultan Mahmud Syah I ini sangat pemberani dalam menghadapi Portugis. Tapi sayang Melaka tetap berhasil di rebut Portugis. Pada tanggal 15 Agustus 1511 terjadilah peperangan yang hebat di antara pejuang Melaka dengan angkatan portugis yang di pimpin oleh Affonso d’albuquerqe.Melaka berhasil dikalahkan.

Sultan dan pengikut-pengikutnya akhirnya melarikan diri ke hulu sungai Muar, dan membuat Kerajaan Pagoh. Dalam bulan oktober 1511, Raja Abdullah (Sultan Kampar) mengadakan hubungan dengan affonso d’ Albuquerque dan pergi ke Melaka. Kemudian kembali lagi ke Kampar.

affonso d’ Albuquerque merasa kalau Pagoh dan Bentayan (Kuala Muar) akan menjadi ancaman bagi mereka. Takut akan hal ini, affonso langsung mengerahkan pasukannya yang terdiri dari 400 orang lascar portugis, 600 orang jawa, dan 300 orang pegu (Burma) untuk menyerang Bentayan dan Pagoh.

Akhirnya Sultan Mahmud Syah I dan pengikutnya meninggalkan Pagoh dan berpindah ke Pahang melalui Lubuk Batu dan Panarikan. Bulan Juli 1512 angkatan perang Sultan Mahmud Syah I di bawah pimpinan Laksmana Hang Nadim menyerang orang-orang Portugis di Melaka.

Januari 1513 Sultan Mahmud Syah I dan para pengikutnya pindah ke Bintan, tepatnya di Kopak. Beliau menetap disini sampai tahun 1519. dari basis ini Sultan Mahmud beberapa kali menyerang Melaka dan mengadakan blockade di Kuala Muar sehingga Melaka kekuarangan makanan.

Tahun 1521 Joerge d’ Albuquerque, panglima perang Portugis di Melaka menyerang bintan dengan membawa 18 buah kapal dan 600 orang prajurit.
Tahun 1523 dibawah pimpinan Don Sancho Enriquez, portugis kembali menyerang Bintan. Namun dibawah komando Hang Nadim, Laskar Kerajaan Bintan mampu memberikan perlawanan yang sengit kepada Portugis. Tidak sedikit tentara Portugis yang mati dalam pertempuran ini dan juga kerugian materi yang tidak sedikit.

Tahun 1526 portugis menghancurkan bandara Bengkalis, yang kemudian portugis kembali mengadakan penyerangan kepada Bintan dibawah pimpinan Pedro Maskarenhaas. Kali ini Portugis mendatangkan angkatan perang dari Goa (India) yang terdiri dari 25 buah kapal-kapal besar, 550 orang prajurit portugis dan 600 orang prajurit Melayu yang telah berhasil mereka bujuk untuk ikut dalam barisan mereka. Disaat itu pula Sultan Mahmud sudah bisa membaca keadaan bahwa Portugis akan kembali menyerang mereka. Dengan segera Sultan Mahmud langsung mengatur pertahanan yang kokoh di Kota Kara dan Kopak. Pertempuran hebat pun terjadi di Kota Kara, Laskar-laskar Melayu banyak yang berguguran, sedangkan Hang Nadim terluka, keadaan pun semakin tidak seimbang, akhirnya Bintan pun berhasil ditakhlukkan Portugis.

Dalam catatan Sejarah Melayu, Sultan Mahmud Syah I adalah yang kedelapan dan juga merupakan Raja yang terakhir dari Kerajaan Melaka (1488-1511). Dan juga beliau merupakan Raja Pertama Kerajaan Johor yang memerintah Johor dari tahun 1511 sampai dengan tahun 1528. Beliau adalah putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah dengan Istrinya Saudara Bendahara Pemuka Raja Tun Perak yang bernama Raja Mahmud. Pada masa Sultan Mahmud Syah I ini, Sultan Munawar, saudara seayahnya yang menjadi Raja di Kampar telah mangkat. Yang digantikan oleh putra Sultan Munawar bernama Raja Abdullah. Setelah Raja Abdullah di nobatkan menjadi Raja Kampar, Sultan Mahmud Syah I langsung mengangkatnya menjadi menantu yang dikawinkan dengan putrinya Putri Mah. Laksemana Hang Tuah juga meninggal pada masa Sultan Mahmud Syah I ini. Menurut sejarah Melayu, Hang Tuah di makamkan di Tanjung Keling Melaka.

C. zaman Johor. Setelah Melaka di kalahkan portugis, putra Sultan Mahmud Syah I, Sultan Ahmad Syah yang merupakan Raja Bintan di Riau, membuka Negeri Johor. Namun gagal. Akhirnya Sultan Mahmud Syah I wafat pada Tahun 1528 dan di beri gelar kemangkatan dengan gelar Marhum Kampar. Kedudukannya digantikan oleh putranya Alauddin Riayat Syah II. Tapi sayang Sultan Alauddin membuat kesalahan fatal. Dia memindahkan imperium Melayu dari Pekan Tua yang terletak di Sungai Kampar Riau Sumatera yang telah terjaga rapi, kuat dan tangguh ke bagian Johor Lama dan di beri nama Pekan Tua juga. Rancangan ayahnya yang kokoh dengan maksud supaya tetap menjaga hubungan dalam imperium Melayu jadi hancur. 

 Pada waktu itu Kampar tidak lagi diurus Raja sendiri, melainkan diserahkan kepengurusannya kepada Adipati Kampar (Selaku Gubernur). Bahkan dikatakan dari sumber sejarah lain Sultan Alauddin Riayat Syah II ini malah mau berdamai dengan portugis dan sama-sama menghantam Aceh. Abangnya yang bernama Raja Muda Muzaffar Syah diusirnya atas desakan bendahara. Raja Muda Muzaffar Syah sekeluarga akhirnya pergi membawa nasib hingga ke Siam (Thailand). Kemudian dibawa rakyat di Kelang ke Perak dan dirajakan disana selaku Sultan Perak dan Selangor.

September 1537, Aceh mengadakan penyerangan kepada Melaka yang telah berada di tangan Portugis. Dengan kekuatan 300 orang prajurit, Aceh mendaratkan dan berperang diMelaka selama 3 hari. Aceh juga menyerang Haru. Sultan Alauddin Riayat Syah II tiba-tiba menyerang armada Aceh (Deli) dalam pada tahun 1540. ia merebut Haru masuk dalam lingkungan Melayu. Hal ini merupakan dendam Aceh dengan imperium Melayu sampai abad ke 18. dan tentu saja hal ini sangat menguntungkan bagi Portugis. Aceh kemudian membalas serangan itu pada tahun 1564 ke Haru, dan berhasil mendudukinya. Armada Aceh terus maju menduduki Johor-Lama dan Sultan Alauddin Riayat Syah II berhasil di tawan dan dibawa ke Aceh.

Setelah itu berturut-turut menjadi raja Johor: Sultan Nuzaffar Syah 1564-1570 Sultan Abdul Jalil Syah 1570-1571 Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II 1571-1597 Sultan Alauddin Riayat Syah III 1597-1615 Sultan Abdul Muayat Syah 1615-1623 Sultan Abdul Jalil Syah III 1623-1677

Pada masa Sultan Muzzafar Syah, lahirlah seorang Pujangga Melayu (1565) putra dari Tun Ahmad Paduka Raja yang terkenal dengan nama Tun Seri Lanang. Tun Sri Lanang merupakan penulis terbanyak tentang sejarah Melayu. Tulisannya menjadi sumber-sumber sejarah Melayu dewasa ini. Beliau pernah tinggal di aceh sambil menyusun dan menyempurnakan karyanya yang terbesar.yakni Tentang Sejarah Melayu. Dan berkenaan dengan penulis-penulis dan ulama yang termasyur seperti Syekh Nuruddin ar Raniri, Tun Aceh, Tun Burhat, Hamzah Fansuri, Syeikh Syamsuddin Sumatrani, dan sebagainya.

Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Syah III. Johor mengadakan hubungan persahabatan dengan Belanda. Dengan kekuatan yang berserikat, Johor berhasil merebut Melaka dari tangan Portugis pada tanggal 14 januari 1647.

Tahun 1673 Batu Sawar diserang Jambi sehingga Sultan mundur ke Pahang. Dan mangkat pada Tahun 1677. kedudukannya digantikan oleh Sultan Ibrahim Syah yang memerintah dari tahun 1677 sampai dengan tahun 1685.

Pada masa Sultan Ibrahim Syah memerintah, beliau memindahkan pusat Kerajaannya ke Bintan pada tahun 1678 tepatnya di Sungai Carang. Dari sini beliau menyusun kekuatan menyerang Jambi. Negeri itu menjadi “Bandar Riuh” yang pada akhirnya terkenal dengan nama RIAU. Masa pemerintahan Sultan Ibrahim Syah berakhir pada tahun 1685. Tetapi saya belum mengetahui secara pasti penyebab berakhirnya masa beliau memerintah, Karena saya sedang mencari data tentang Sultan Ibrahim Syah ini. Tapi sangat besar kemungkinan bahwa beliau berhenti memerintah dikarenakan wafat.

Saat beliau wafat belum ada yang bisa menggantikan kedudukannya sebagai raja. Hal ini disebabkan karena cikal bakal pewaris tahta beliau, yakni putranya yang bernama Raja Mahmud masih kecil. Maka pemerintahan Kerajaan pada waktu itu dipegang oleh Datuk Seri Maharaja atau disebut juga Bendahara Paduka Raja Tun Habib. Pada masa ini diadakan perjanjian dagang dengan Belanda. Setelah Raja Mahmud dewasa, barulah Raja Mahmud dinobatkan menjadi Sultan dengan gelar Sultan Mahmud Syah II. Beliau memerintah dari tahun 1677 sampai dengan tahun 1699. Meninggal pada usia 42 tahun setelah di bunuh Laksemana Megat Sri Rama. Sultan Mahmud Syah II meninggal ketika sedang berangkat untuk menunaikan shalat Jum’at. Beliau pergi shalat jum’at dengan di julang oleh pengawalnya. 

Dijulang dalam bahasa Melayu berarti di dudukkan di atas tengkuk. Di tengah perjalanan Sultan Mahmud Syah II dibunuh oleh Megat Sri Rama. Tapi menurut keterangan Raja Ali Haji, Laksemana Megat Sri Rama juga mati disebabkan oleh sikin nya Sultan sesuai dengan keterangannya yang tertulis dalam Tuhfatu’n Nafis : “maka adalah ketika baginda itu diatas julang hendak pergi Shalat Jum’at, lalu diparangnya hulu hati baginda hingga mangkat, dan Megat (Sri Rama) itupun mati juga karena dilontar oleh baginda dengan sikinnya¹” Dengan berita kematian Sultan yang telah sampai keistana membuat Istri Sultan Mahmud Syah II, Encik Pong yang sedang hamil tua diselamatkan oleh Nahkoda Malim, salah satu hulubalangnya yang setia. Encik Pong di larikan kedalam hutan dengan beberapa orang pengawalnya.

Sejak itu putuslah zuriat keturunan Raja-Raja Melaka di Johor. Dan bertukar alih ke tangan Raja-Raja keturunan dari Bendahara.

Setelah Encik Pong melahirkan seorang anak lelaki yang diberi nama Raja Kecil, Encik Pong dibawa keluar Johor dan dibawa ke Jambi. Kemudian dilarikan lagi ke Indragiri, hingga akhirnya sampai ke Pagarruyung. Dipagarruyung Encik Pong dan Raja Kecil mendapatkan Suaka Politik. Bahkan Raja Kecil dianggap sebagai anak angkat istana oleh Kerajaan pagarruyung. Encik Pong pun wafat di pagarruyung. Raja Kecil kemudian betul-betul dididik oleh keluarga Istana Pagaruyyung. Mulai dari ilmu agama, ilmu pemerintahan, ilmu silat dan sebagainya. Raja Kecil tumbuh menjadi remaja. Sampai akhirnya Keluarga Kerajaan Pagarruyung menceritakan asal usul dirinya. Setelah mengetahui, maka Raja Kecil ingin menuntut balas atas kejadian yang menimpa keluarganya. Pada saat itu ia telah di bekali dukungan dari Pagarruyung.

Dalam satu Riwayat sejarah Melayu lain dikatakan mengenai Raja Kecil ini. Raja Beraleh (Tun Bujang) seorang anak raja yang datang dari Minangkabau telah menghambakan diri kepada Sultan Lembayung (seorang Raja dari hulu palembang sebagai pembawa tempat sirih sultan. Kemudian setelah membawa Raja Jambi dalam suatu peperangan, Raja Beraleh kembali ke Minangkabau. Oleh keluarga Raja Pagarruyung, nama Raja Beraleh ditukar menjadi Raja Kecil. Namun cerita ini tidak popular di Riau.

Pengganti Sultan Mahmud Syah II diangkat Bendahara Paduka sebagai Sultan dengan gelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV (1619-1718). Adindanya Tun Mahmud diangkat menjadi Yam Tuan Muda (Raja Muda)/ sejak itu anak-anaknya dipanggil Tengku. Rakyat berontak. Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV pindah ke Riau pada tahun 1709 dan minta bantuan VOC Belanda tahun 1713. kemudian ia disingkirkan oleh Raja Kecil yang telah diberi gelar Yang Dipertuan Cantik pada tanggal 21 Maret 1717. ia naik tahta dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah (1718-1722).

d. Riau-Lingga Inggris dan Belanda membuat perjanjian (amiens 1802) bahwa jajahan Belanda di Indonesia harus dipulangkan oleh Inggris. Hal ini diperteguh lagi setelah kalahnya Napoleon (Konferensi London). Sir Stanford Raffles wakil gubernur Inggris dari India memperlambat pengembalian ini.

Ditahun 1818, Inggris mengembalikan Melaka kepada Belanda. Tengku Long ditabalkan menjadi Sultan Riau-Johor tanggal 6 Februari 1819. dengan acara adat disaksikan oleh Raffles dan Mayor Farquhar. Dengan peristiwa ini terpecahlan Imperium Riau Johor menjadi dua yaitu Kerajaan Johor Singapura di bawah pimpinan Tengku Husin (T.Long) tahun 1824, Singapura jadi Crown Colony Inggris. Dan Kerajaan Riau dibawah Sultan Tengku Abdul Rahman Muazzamsyah II yang didukung oleh Belanda. Namun akhirnya pada tanggal 3 Februari 1911 Kesultanan Riau dihapuskan Pemerintahan langsung ditangan Gubernur Hindia Belanda diwakili oleh seorang residen yang berkedudukan di Tanjung Pinang sampai awal masuknya Jepang.

Dalam Bataviaasche Novelles lebih lanjut diberitakan dari Jambi tertanggal 28 Maret 1711 bahwa seorang Minangkabau atau dari Pealaman, menyebut dirinya sebagai Raja Ibrahim, memperkenalkan diri sebagai keturunan Yang Dipertuan yang terkenal dengan pengikut enam atau tujuh orang, telah sampai dihulu Jambi, membawa lempengan perak dengan tulisan, persahabatan dengan Pangeran Pringga Raja serta saudaranya Kyai Gedee, Sultan Jambi. Sangatlah mungkin apa yang disebut Yang Dipertuan disitu adalah Raja Kecil. Menurut cerita sederhana dari orang-orang bumi putera, bahwa Raja Kecil mengunjungi bajak laut Bugis di sekitar Bangka, untuk meminta bantuan menyerang Johor dan hal itu kelihatannya lebih sesuai dengan umumnya. Jika dalam Tahun 1648 sweaktu ia mengunjungi Jambi ia berumur 20 tahun, maka sewaktu merebut Johor dalam tahun 1717, umurnya telah mencapai umur 53 tahun, dan dalam tahun 1745 ia telah berumur 81 tahun (ia wafat tahun berikutnya), barulah sesuai jika ia dikatakan “telah berusia sangat lanjut”.

Kebenaran masalah ini tetap menimbulkan keraguan, tetapi perlu mendapat perhatian, bahwa pemerintah Melaka dalam tahun 1745, jadi 25 tahun setelah terjadi berbagai peristiwa, menurut pelukis Melayu adalah Raja Kecil, bukanlah Raja Sulaiman yang menjadi Raja Melayu. Orang-orang bugis dibawah pimpinan tiga bersaudara, Daeng Marewah atau Kelana Jaya Putera, Daeng Perani dan Daeng Pali atau Daeng Celak, dalam tahun 1134 (bersamaan 22 oktober 1721) membantu Raja Sulaiman menaiki tahta Johor, Riau dan Pahang. Pusat Kerajaan waktu itu berada di Riau, sebelah kedalam teluk. Pemimpin-pemimpin bugis tersebut mendapat imbalan atas jasa-jasanya, mungkin karena sultan merasa terima kasih atau oleh karena takut. Daeng Marewah, atau Kelana Jaya Putera menjadi Raja Muda dari Kerajaan Johor dengan gelar Sultan Alau’ddin Syah, sedangkan Daeng Manompo, juga seorang yang terkemuka di antara bajak laut bugis itu, diangkat dengan Raja Tuwah dengan gelar Sultan Ibrahim, ia merupakan raja kedua setelah Raja Muda.

Keterikatan Istana Johor dengan Bugis semakin erat setelah diadakannya perkawinan-perkawinan silang yang berlangsung. Daeng Marewah dikawinkan dengan Encik Ayu, janda Sultan Mahmud, tetapi tidak pernah hidup rukun akibat pengaruh masa remajanya. Daeng Manompo mengambil istri Tun Tepati, saudara ibu Sultan Sulaiman. Daeng Sasuru dan Daeng Mengato kawin dengan saudara sepupu sultan, dan orang-orang bugis yang kurang terkemuka kawin dengan putrid-putri pejabat-pejabat dan kepala-kepala orang Melayu.





0 komentar:

Posting Komentar