Marga Lingga merupakan marga yang berasal dari Suku Batak. Kebanyakan dari marga Lingga hidup disekitar Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat, dan Kabupaten Simalungun. Oleh karena itu ada sebagian dari marga Lingga yang mengaku sebagai keturunan Suku Simalungun. Karena mereka telah lama tinggal disekitar tanah Simalungun.
Penerimaan marga Lingga dalam suku Simalungun tidak luput dari
pepatah yang ada dalam suku Simalungun: "Sin Raya, sini Purba, sin
Dolog, sini Panei. Na ija pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei"
Beberapa marga Lingga sudah mulai beradptasi dengan lingkungan
sekitarnya. Seperti halnya beberapa marga Lingga yang berada di sekitar
daerah Simalungun sudah mulai menggunakan adat-adat Simalungun dalam
beberapa ataupun seluruh acara adat yang mereka lakukan.
Kerajaan Lingga Tanah Gayo
Kerajaan Lingga di tanah Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam bukunya
"Gajah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh pada tahun
1959, Kutaraja,
mengatakan bahwa sekitar pada abad ke-11 (Penahunan ini mungkin sangat
relatif karena kerajaan Lamuri telah eksis sebelum abad ini, penahunan
yang lebih tepat adalah antara abad ke 2-9 M),
Kerajaan Lingga didirikan
oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kesultanan Perlak.
Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja
Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja
Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era
kolonial Belanda.
Raja Lingga I, disebutkan mempunyai 6 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.
Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak tepatnya di Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri, Lamuri, Kesultanan Lamuri
atau Lambri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh
Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang
selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke
daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan
Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.
Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil
Paluh di daerah Linge. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati
oleh penduduk.
Penyebab migrasi
tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja
Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat
anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.
Dinasti Lingga
Dalam Dinasti Lingga terdapat beberapa bagian yaitu :- Raja Lingga I di Gayo
- Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Lingga
- Raja Marah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)
- Marah Silu (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan
- Raja Lingga II alias Marah Lingga di Gayo
- Raja Lingga III-XII di Gayo
- Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh, pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah.
Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.
Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tapi hanya dua era yaitu :
- Raja Sendi Sibayak Lingga (Pilihan Belanda)
- Raja Kalilong Sibayak Lingga
Apakah Pulau Lingga Kepulauan Riau dinamai demikian karena pengaruh orang - orang dari Dinasti Lingga tanah Gayo, mungkin saja. Tapi ada versi lain yang menceritakan tentang asal - usul nama pulau Lingga di Kepri
Lingga dan Singkep 1932 |
Versi lain :
W.P. Groeneveledt dalam bukunya yang berjudul History Notes on
Indonesian and Malay, menyebutkan bahwa nama Lingga berasal dari kata
Ling yang berarti Naga dan Ge yang berarti Gigi, tidak jauh berbeda
dengan nama yang diberikan oleh para perantau Cina. Menurut para
perantau Cina, sebelum mereka sampai di Daik, mereka melihat sebuah
gunung (gunung Daik) yang bentuk puncaknya seperti Gigi Naga atau Tanduk
Naga yang bercabang dua,(konon, dahulu bercabang tiga) yang mereka
sebut Lengge. Istilah Lingga juga terkait dalam pengertian keagamaan
agama Hindu, dikarenakan gunung Daik bercabang tiga, dan salah satu
puncak gunung menyerupai perlambang phallus, puncak tertinggi dinamakan
gunung Daik, terendah disebut gunung Cindai dan puncak yang tengah
disebut gunung pejantan.
Jauh sebelum Daik Lingga dijadikan pusat Kerajaan Johor-Riau oleh Sultan
Mahmud Syah lll / Yang dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl
dan pusat Kerajaan Riau Lingga oleh Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah
/Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVll yang juga
merupakan Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke l setelah Kerajaan
Johor-Riau dipecah menjadi dua yaitu Kerajaan johor dan Kerajaan Riau
Lingga pada tahun 1824, pada mulanya daerah Lingga dan sekitarnya
didiami oleh Orang Suku Laut, dengan dipimpin oleh kepala sukunya yang
disebut Batin. Kemudian pada akhir abad ke-18 datang Datuk Mata Kuning
yang merupakan putra dari Datuk Mata Merah yang berasal dari Pangkalan
Lama Jambi datang ke Lingga.
Selama beberapa tahun Datuk Mata Kuning Memegang kekuasaan di wilayah
Lingga dengan gelar Datuk Megat Kuning. Pada tahun 1787, Sultan Mahmud
Syah lll /Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl
memindahkan pusat Kerajaan Johor-Riau dari Hulu Riau Bintan dengan
membawa sebanyak 200 kapal perahu layar pindah ke Daik Lingga dan tempat
kedudukan Yamtuan Muda juga dipindahkan dari Hulu Riau Bintan ke pulau
Penyengat pada tahun yang sama. Sejak saat itu Datuk Megat Kuning
menyatakan sebagai hamba Sultan mahmud Syah lll, kemudian Datuk Megat
Kuning diangkat menjadi Orang Kaya Temenggung yang bertugas menjaga
keamanan perairan Lingga dan bertempat tinggal di pulau Mepar, di pulau
Mepar dibangun benteng lengkap dengan meriam-meriam sebagai salah satu
benteng pertahanan Kerajaan. Sebelum itu Datuk Kaya Temenggung tinggal
di Semarong Daik (Mentok) dan kemudian pindah ke Kopet Daik (Melukap)
baru setelah itu pindah ke pulau Mepar dan menetap disana.
Sepenggal Sejarah
Daik, dahulunya hampir selama seratus tahun menjadi pusat kerajaan
Riau-Lingga, sekarang menjadi ibu kota Kecamatan Lingga, Kabupaten
Kepulauan Riau.
Kota Daik yang terletak di sungai Daik, hanya dapat dilalui perahu atau
kapal motor di waktu air pasang. Kalau air surut, sungai Daik mengering
dan tak dapat dilalui. Perhubungan lainnya adalah melalui jalan darat ke
desa Resun di sungai Resun. Dari sana melalui sungai itu terus ke muara
(Pancur) yang terletak di pantai utara pulau Lingga, berseberangan
dengan Senayang.
Selama seratus tahun Daik menjadi pusat kerajaan, tentulah terdapat
berbagai peninggalan sejarah dan sebagainya. Raja-raja kerajaan
Riau-Lingga yang memerintah kerajaan selama periode pusat kerajaan di
Daik Lingga yaitu : Sultan Abdurakhman Syah (1812-1832), Sultan Muhammad
Syah (1832-1841), Sultan Mahmud Muzafar Syah (1841-1857), Sultan
Sulalman Badrul Alam Syah II (1857-1883) dan Sultan Abdurrakhman Muazzam
Syah (1883-1911).
source
source
Tidak ada komentar:
Posting Komentar